DIBANDING Soekarno, Hatta, Soedirman, atau pahlawan nasional lain, nama Tan Malaka bukanlah apa-apa. Dia tidak terlalu dikenal publik. Dulu, tiap orang termasuk mahasiswa yang mengagumi perjuangannya bahkan harus berhadapan dengan aparat. Bagi penguasa Orde Baru (Orba), Tan Malaka adalah momok. Setiap orang yang mengaguminya harus dicurigai.
Empat tahun sebelum terjadi Sumpah Pemuda, enam tahun sebelum Hatta menulis brosur "Mencapai Indonesia Merdeka" pada 1930, atau bahkan delapan tahun sebelum Soekarno menulis brosur "Ke Arah Indonesia Merdeka" pada 1932, Tan Malaka telah menulis "Naar de Republik Indonesia" yang berarti "Menuju Republik Indonesia". Ketika tulisan tersebut muncul, belum pernah ada tulisan yang mengulas cita-cita kemerdekaan Indonesia. Artinya, Tan Malaka adalah pemikir dan pejuang politik pertama di Indonesia yang mengajukan konsep negara Republik Indonesia (RI).
Namun, terlalu sedikit orang yang mengerti tentang Tan Malaka. Subjektivitas plus politisasi sejarah ala Orba membuahkan gambaran gelap tentang peran Tan Malaka bagi perjuangan republik ini. Akhirnya, Diponegoro, Imam Bonjol, Soekarno, Hatta, Soedirman, dan sederet nama pahlawan nasional lain juga lebih glamour dibanding Tan Malaka. Di antara nama-nama tersebut, Tan Malaka bukanlah apa-apa.
Tan Malaka adalah sosok misterius pada kancah pahlawan nasional. Bahkan keberadaannya tergolong kontroversial. Seorang muslim taat yang turut melahirkan Partai Komunis Indonesia, yang dikenal sebagai partai orang-orang atheis. Seorang pendukung Soekarno untuk menjadi presiden pertama RI, namun dia adalah orang pertama yang melawan ketika Soekarno mulai menerapkan demokrasi terpimpinnya.
Lalu apa menariknya membicarakan Tan Malaka saat ini?
Hal yang pasti adalah bahwa Tan Malaka berjuang tanpa pamrih. Dalam sejarahnya, Tan Malaka tak pernah menduduki jabatan-jabatan birokrat, seperti Soekarno ataupun Hatta. Perjuangan politik Tan Malaka lebih diwarnai pembangkangan terhadap penguasa. Demikian juga, kehidupannya bahkan lebih terkenal dari penjara ke penjara. Ketika zaman imperialisme Belanda, dia harus mendekam di penjara. Ketika Jepang berkuasa, dia harus dipenjara, bahkan ketika Indonesia telah merdeka pun Tan Malaka harus dipenjara. Dia selalu jadi pembangkang penguasa.
Perjuangannya tidak pernah diakhiri suatu jabatan publik. Nyaris tanpa pamrih. "Siapa ingin merdeka, harus berani di penjara," teriaknya. Bahkan, ketika telah mati pula, Tan Malaka harus menjadi nama yang terpenjara. Bangsa ini tak pernah mengakui keluarbiasaan ide Tan Malaka. Namanya lebih dikenal dengan tokoh antagonis dalam sejarah pahlawan nasional. Setidaknya, nama Tan Malaka dianggap sebagai momok bagi sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa karena ideologi politiknya yang "kiri". Keberpihakannya pada perjuangan pada tataran grass root, dengan melibatkan pada pengorganisasian petani dan buruh melahirkan kecurigaan oleh kelompok mapan.
***
TAN Malaka lebih terkenal karena pikiran-pikirannya. Dia lebih banyak berjuang melalui ide-ide. Inilah barangkali salah satu alasan kenapa bangsa ini tidak terlalu menganggap penting perjuangannya. Selama ini, orang mendominasikan peran pahlawan-pahlawan yang berjuang melalui perang. Tan Malaka memilih berjuang dengan caranya sendiri, bukan dengan senjata. Orang pun, diakui atau tidak, akhirnya terjebak pada pola pandang kebenaran, materialis. Mengukur bentuk perjuangan dari sejauh bentuk fisik yang telah terbangun. Pejuang bertempur dengan penjajah. Sekian nyawa penjajah hilang. Atau pada konteks kekinian, sejauh mana pembangunan yang telah dilakukan seorang pejabat. Tak heran pejabat akhirnya berlomba membangun prasasti, mengenang hasil perjuangan melalui kebendaan. Maka, wajar apabila Marx mengukur sejarah manusia pun melalui materi. Logika pikir kebanyakan orang terbentur pada materialisme. Logika pikir semacam ini lalu lari ke arah penghargaan perjuangan secara fisik. Seorang atlet mendapat penghargaan lebih dibanding seorang peneliti. Ide telah dikalahkan fisik. Padahal Jalaluddin Rahmat pernah mengatakan bahwa revolusi pun berawal dari sebuah gagasan. Artinya, perubahan sekecil apapun pasti diawali ide, pikiran. Lalu kenapa orang lalu menganaktirikan "pejuang ide"? Tan Malaka misalnya.
Dalam perjuangan mewujudkan ide inilah, kadang-kadang jabatan jadi alat. Dan, Tan Malaka konsisten dengan itu. Inilah hal luar biasa yang cenderung menjadi barang langka saat ini. Jabatan, status yang merupakan alat mematerialkan ide justru telah menjadi tujuan, meskipun terjadi distorsi antara tujuan ide dengan kondisi alat.Dari sinilah menjadi menarik jika dianalogikan dengan kondisi politik negeri ini. Kritik Amien Rais terhadap Gus Dur barangkali adalah pengingatan bahwa jabatan presiden bukanlah tujuan untuk mendukung Gus Dur dalam SU setahun lalu. Dukungan Amien Rais untuk menaikkan Gus Dur jadi presiden pada SU bisa jadi adalah untuk mewujudkan tujuan reformasi. Gus Dur jadi presiden bukan tujuan, tetapi alat. Dan, ketika Gus Dur belum juga mampu menjawab cita-cita penggulingan rezim Soeharto, barangkali Amien Rais bermaksud mengingatkan.Tetapi, itu mungkin, karena Amien Rais pun bukan Tan Malaka. Bisa jadi ada tendensi di balik kritik penurunan Gus Dur. Bisa jadi Amien Rais pamrih, mengharap sesuatu dengan kritiknya. Dan, itu bukan hanya Ketua MPR tersebut. Bisa jadi Akbar Tandjung, Megawati, dan semua pemimpin di negeri ini, atau bahkan kita. Ironisnya, inilah gambaran "pahlawan-pahlawan" sekarang. Negeri ini telah didominasi orang-orang pamrih yang mengharap keuntungan dari apa pun yang dilakukan. Meskipun untuk tujuan itu, mereka mengorbankan rakyat kecil.
dijamin jitu.........................
jalan pintas
Kamis, 16 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
- Oktober 2009 (1)
- Agustus 2009 (17)
- Juli 2009 (22)
- Mei 2009 (30)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar